-Siapa tahu, aku besok jadi orang
besar yang tidak lalai.-
-Tapi
kamu tahu sendiri, apa yang sudah terjadi dengan para orang besar itu.-
-Lihat
saja.-
-Kau
ini apa maunya?- Ia Tanya dengan serius.
-Seperti
apa maumu.-
-Mau
ku, kau melukis pelangi tanpa warna jingga, untuk meraih bintang kita.-
-Baiklah.-
-Dan
akulah Si Jingga itu-
Dia
pergi menjauh dariku sambil beberapa kali menyimetriskan bibirnya yang elok
itu, ia membawa buku catatan dimana skenario-skenario kehidupan terjalani. Aku
pun pergi beranjak pulang meninggalkannya dengan menyangking sebuah tas berisi
laptop dan beberapa buku, buku-buku tentang bagaimana pohon dapat menyentuh
langit, bagaimana cara agar manusia dapat mendapatkan bintangnya yang tepat.
Karena tidak sedikit, bintang yang diraih seorang manusia, terkadang bintang
orang lain, bintang yang salah. Tidak sedikit pula, banyak orang yang
memuja-muja bintang itu sehingga terbunuhlah ia karena salah mengambil bintang.
Dari
sekian episode kehidupan yang ku temui, aku banyak melihat berbagai macam jalan
setapak yang enak ku lalui, meski beberapa menyakiti. Aku juga tidak pernah
mencoba untuk menghilang dari salah satu episode, atau aku akan menyesal di
kemudian hari.
Diperjalanan
pulang, aku kaget meihat sebuah kertas teronggok di jalanan, tulisannya. Oh,
rupanya buku yang ia bawa sudah tak komplit lagi. Terlukiskan, sebuah pelangi
tanpa warna jingga. Ya, itu adalah permintaannya kepadaku, untuk melukis sebuah
pelangi tanpa warna jingga.
Aku
meneruskan perjalanan pulang. Langit yang cerah membuatku tak merasa kelelahan
dalam berjalan. Aku jadi teringat percakapanku dengannya yang selalu aku ingat,
tidak pernah terlupa. Kala itu, hujan sedang libur. Angin sepoi dan pepohonan
yang rimbun semakin memperindah dan menghiasi hariku bersamanya. Se gelas es
teh untuk berdua menambah hangatnya suasana.
-
Nah, inilah hidup.- katanya.
-Ya,
saling berbagi dan memberi -
-Meski
kadang yang kita terima tidak kita inginkan ya-
Aku
diam sejenak. Mencoba untuk memahami apa yang ia katakan. Aku tidak mengerti.
Mungkin ia ingin membicarakan suatu hal
-Maksudmu?-
-Ya,
kita ini kan….- Ia mengentikan suaranya beberapa detik, lalu dilanjutkan
kembali. –Kita ini kan tahu, bahwa aku berwarna Jingga, dan kau Merah, kita
tidak sama. –
Aku
mengerti apa yang ia bicarakan sekarang. Ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu.
Aku mendadak tidak tenang.
-Tapi
kita sama akan satu hal.-
-Apa
itu?- Tanya ia dengan penasaran.
Aku
mengangakat tanganku ke atas, menunjukkan jari telunjukku ke langit, menuju ke
sebuah titik yang tidak terlihat karena langit sangat terang.
-
Lihat di atas sana-
-Apa?-
-Di
sana ada bintang yang sangat terang-
-Ya,
aku tahu-
-Bukankah
kita akan pergi ke sana? Aku dan kamu?-
-Iya,
benar-
-Lalu
kenapa kau permasalahkan warna kita? Menurutku itu tidak penting.-
-Aku
bilang penting-
-Kenapa
penting?-
-Entahlah.
Ini bukan tentang kita-
-Lalu?-
-Ini
tentang seseorang yang begitu berarti dalam hidupku-
-Siapa
itu?-
-Orang
yang telah memberiku kesempatan untuk belajar hidup, mustahil aku tidak
mengikutinya-
Aku
mulai tahu permasalahannya sekarang mengapa dia begitu mempermasalahkan
Jingganya. Sejak saat itu aku tidak lagi
menanyakan soal Jingganya
Aku
meneruskan perjalanan pulang. Kertas tadi ku dekap dengan erat, kemudian akan
ku masukkan ke dalam tas, ku satukan dengan buku-buku itu. Aku lipat kertas
itu, lalu ku jadikan kertas itu sebagai penanda halaman buku.
Terlihat
dari kejauhan, seorang wanita dengan muka bersahabat sepertinya menungguku. Ia
melambaikan tangannya sembari senyum hangat kepadaku. Aku biasa memanggilnya
Ibu
-Kemana
saja kau, nak?-
-Aku
tidak kemana-mana bu. Hanya main dan mencari kesenangan, tetapi saat ini aku
belum senag, bu.-
-
Kenapa kau belum senang?-
-Ya
karena aku belum menemukan hal yang aku inginkan- aku menghentikan pembicaraan,
beberapa saat kemudian ku lanjutkan. – Aku malah merasa kehilangan –
-
Masuklah nak, kita bicara di dalam.-
-
Bu, apa yang harus ku lakukan? –
-
Lakukanlah apa yang menurutmu benar, kau sendirilah yang tahu apa yang harus
kau lakukan. –
-
Aku tidak yakin bu. Hari ini aku hancur. –
-
Maka hancur lah kau jika kau merasa hancur. Tidak ada kehancuran yang nyata
sebelum dunia kiamat, nak. –
-
Aku tidak yakin, aku bisa melukis pelangiku tanpa warna jingga. –
-
Jika tidak ada warna jingga, maka pakailah warna lain yang lebih indah. – ibu
tersenyum.
-
Maksud Ibu, tanpa Jingga, pelangi akan tetap bernama pelangi?. –
-
Tentu saja, nak. Pelangi hanyalah sebuah nama. Bisa kau sebut dengan nama lain.
–
-
Tetapi, apakah tanpa warna jingga pelangiku akan tetap bisa ku naiki untuk
meraih bintangku, bu? Satu-satunya yang ku punya untuk meraih bintangku
hanyalah pelangi.–
Ibu
tiba-tiba memelukku. Mengusap – usap kepalaku, sesekali mencium keningku.
Hangat tubuhnya amat menentramkan hati. Sampai – sampai tak terasa lagi bahwa
aku punya mata yang bisa mengalirkan air yang deras. Ibu menyanyikan sebuah
lagu yang tidak aku kenal. Lagu itu menceritakan tentang seorang anak manusia
yang sedang merasa kehilangan.
-Apakah
aku bisa meraih bintang itu walau tanpa jingga? –
-
Tetaplah menjadi kau yang dulu nak, kau berkali-kali menaklukkan gunung. Kau
kuat.-
-
Apakah ibu akan terus bersamaku? –
-
Ya, ibu janji. –
Aku
sedikit lega mendengarnya. Ibu memberikan janji untuk menemaniku meraih
bintangku.
-Walau
tak ada jingga, pasti nanti kau akan menemukan warna lain. Kau bisa memilih
warna lain. Seperti kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Bukankah begitu nak?.
–
-
Ya bu, semoga saja. Aku terima warna apa saja, asal bisa menemaniku sampai ke
bintang itu. –
-
Nah, sudahkah lega? –
Aku
tidak menjawab pertanyaan ibu. Aku hanya mengeluarkan senyuman yang ibu balas
dengan senyuman pula.
Semenjak
itu, aku tak pernah lagi melukiskan warna jingga diatas kanvasku. Warna yang
selama ini aku suka, tetapi telah membuatku jatuh. Entah sampai kapan aku tidak
memakai warna itu. Barangkali, aku pakai warna itu lagi setelah aku menemukan
warna lain yang bisa menjadi sahabat untuk taklukkan langit seisinya.
Sekarang
aku akan tetap berjalan maju dan naik tanpa jingga di pelangiku.