Sabtu, 29 September 2012

Al-Maut

“kudapati diriku terbangun di gigir terjal dari dunia, dari kedalaman mimpi yang dingin.. di mana bayang-bayang tatapannya menjebakku dengan kediaman yang menggigilkanku dari ber-ada-ku yang dingin: Al-Maut. Ia menghampiriku dengan jubah hitam compang- camping, baunya mengerikan tidak bisa didefinisikan, bau itu, bau kematian.. matanya merah bagaikan bara api membakarku, tatapannya membakarku.. belum pernah kurasakan sebelumnya kesepian yang semengerikan ini, aku gemetar, kedinginan, dan seperti kehilangan bahasa. Kemudian aku tak dapat mengingat apa-apa lagi dari pertemuanku dengannya…”

Al Maut, dia berada di mana saja: di jalanan, di kamar yang hangat dan nyaman, di rumah-rumah ibadah, di dalam kedai kopi atau bar-bar dan di antara tawa pestapora orang-orang pada malam-malam perjamuan, terkadang dia mengendap-endap di atas atap rumahmu pada tengah malam yang dalam, atau di kedalaman mimpi seseorang, dia Sang Maut berada di mana saja, di
dalam tubuh kita mengandung maut.
Malam itu Mehdi selamat dari incaran Al Maut, anggap saja Maut yang buta, barangkali ia salah mencabut nyawa atau dia, Maut, bisa kita kelabuhi. Mehdi hampir saja benar-benar berpartisipasi dengan maut, tetapi nasib yang barangkali adalah hubungan sibernetik dengan "umpan balik" pilihan probabilistik, kali ini dia beruntung.. ketika Al Maut menjelma seekor serangga yang masuk ke dalam kopi yang disediakan Ibunya tiap malam, Mehdi meminum tanpa menyadari keberadaan Al Maut yang sunyi itu, sampai akhirnya dia tersedak dan kehabisan nafas. Pada akhirnya Maut bisa saja mendatangimu dengan cara yang paling konyol dan bukan saja hanya pada kematian yang sakral dan
spiritual serta puitis, seperti yang ada di dalam film atau dongeng-dongeng. Tapi kali ini Al Maut gagal mendapatkan Mehdi, karena sesaat setelah tersedak ibunya masuk kamar untuk mengatakan bahwa Ibunya lupa menambahkan krim ke dalam kopi itu, dan Ibunya menemukan Mehdi tersungkur di lantai dengan muka pucat serta gelas kopi yang telah pecah di lantai. Mehdi, ia seorang pemuda yang psimis dan sinis memandang dunia. Dia ngeri terhadap keterasingan, dia mengamini bahwa segala yang dimilikinya hanya akan melemahkannya maka dia memilih untuk berjarak dengan dunia.. dia tumbuh di kedalaman sunyi, terbiasa dengan dendam abadi dan mengamini bahwa dia terlempar ke bumi sepi ini, bumi yang pemandangannya seperti pekuburan, beserta segala penghuni dengan jiwa-jiwa yang mati. Dia tidak bicara dengan orang (kecuali dengan Ibunya, sesekali..)
Bila pun malam beserta segala kecemasannya datang, Mehdi ketakutan, meringkuk di sudut kamar, atau sesekali dia bisa mengatasi itu dengan menulis, atau membaca buku sambil mendengarkan musik sekeras-kerasnya. Dia terteror oleh pikiran-pikirannya sendiri, oleh kenyataan yang dingin dan mimpi yang tak tersentuh. Namun satu hal yang dapat membuatnya gemetar dan sangat ketakutan, yaitu, kesunyian Maut yang dingin. Dia takut oleh bayang-bayang ketiadaan dan kesepian di dalam kematiannya yang akan membuatnya lebih buruk daripada dunia ini…
Setelah lolos dari Al Maut, Mehdi menjadi sombong dan berani menantang hidup, dia menganggap bahwa dia mampu mengelabuhi Maut. Kemudian hari-harinya menjadi tak biasa-biasa saja, dia mulai membuka diri, memasuki hidup, menemu malam, dan berbicara dengan orang.. bangun pagi, mencukur kumis dan jenggotnya, menyeduh kopi sendiri, berbelanja untuk Ibunya, membeli Koran, kemudian berbicara dengan orang-orang soal cuaca, harga keju dan anggur yang naik, dan lain sebagainya, sesuatu yang hidup.. yang dianggap orag (kebanyakan) sebagai cara hidup.
“Sepertinya aku belum pernah merasa begitu dekat dengan kehidupan…” katanya dalam hati kemudian menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar sambil berjalan melenggang menuju rumah.
Malam harinya dia akan keluar untuk makan malam, karema dia bosan dan kelelahan memakan masakan Ibunya siang dan malam, setiap hari, seumur hidupnya, kini dia memilih satu tempat yang menjadi tempat langganannya yaitu di sebuah warung makan yang berada di tepi pelabuhan, pemandangan laut yang ditawarkan begitu indah untuk sebuah tempat makan sederhana dan bisa dibilang murah di kota itu. Kemudian ke kedai-kedai kopi atau sebuah bar yang berada di ujung pelabuhan, bar yang tidak pernah terlalu ramai dikunjungi orang, Mehdi banyak bicara dengan seorang tua penjaga bar itu, seorang lelaki tua yang sendiri dan kelelahan.
Suatu malam, di malam yang dingin dan penuh hujan, Mehdi mendatangi bar itu, dia minum banyak dan mabuk, rupanya kini dia mulai mencintai kehidupan, merasa hidup, segala yang ada di dunia beserta segala isinya memabukkannya, kemudian si penjaga bar itu berkata padanya,
“Hei anak muda, sudahkah kau lupa pada sepasang mata yang mengintaimu kala itu, pada malam yang dingin dan terjal bagi hidupmu?”
“Ah kau tidak perlu cemas Pak tua, lihatlah! Aku berhasil lolos dari maut, aku yakin dia pasti tidak akan datang lagi dalam waktu dekat ini, dia terlalu sibuk. Selarang saatnya untuk hidup! Aku tak perlu cemas lagi.”
Dilihatnya jam tua yang tergantung sunyi di bar itu, malam semakin larut, jarum jam melesat menuju tengah malam. kemudian dia meninggalkan bar, menyusuri sunyi jalanan batu tua yang basah di sepanjang tepian selat, dilihatnya pemandangan malam: kapal-kapal very yang melintasi selat, seorang
lelaki yang memancing kesia-siaan karena sudah tahu benar bahwa dia tidak akan mendapatkan ikan di sudut jembatan itu, dan sepasang kekasih melepas rindu panjang di bawah pohon Maple yang beridiri sendirian. Kemudian hujan turun lagi setelah beberapa saat reda, Mehdi segera menuju ke sebuah tempat untuk berteduh. Dia berhenti di depan suatu bangunan tua yang berada di sudut lain, sudut yang paling sunyi dari pelabuhan ini, bangunan ini bisa dibilang mirip dengan sebuah kedai tua yang bukan jaman sekarang seperti kebanyakan.
Terlalu sepi dan udara dingin yang menyelimuti tempat itu membuat suasana horror, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya. Perlahan Mehdi mendekati pintu, tapi karena sudah cukup kedinginan di luar dia langsung membukanya, dan dia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya itu, seisi kedai yang penuh dengan orang-orang bersorak-sorai, minum bir, whisky, scotch, dan lain sebagainya dengan cuma-cuma, ada yang menari-nari tarian rakyat yang bahagia, bernyanyi dengan suara keras dan parau,
tempat itu begitu sesak dan aneh.
Mehdi masih keheranan, sambil berjalan menuju ke sebuah bar ia celingak-celinguk melihat pemandangan yang ganjil itu. Kemudian dia memesan minumannya, dan minuman pun tersedia, “ini minumanmu bung, GRATIS!”
Mehdi kebingungan dan bertanya-tanya, tempat macam apa ini? Dari luar sana bahkan tempat ini seperti tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, tetapi begitu masuk pemandangannya lain, sangat aneh, dia merasa seperti memasuki dunia yang lainnya, meski dipenuhi canda tawa kebahagiaan, pestpora, tapi Mehdi justru merasa sangat kesepian dan sunyi yang tak tertanggungkan.
Dipandanginnya wajah-wajah bahagia itu, seperti ada yang memberat di setiap sudut pandangan mata mereka, atau bisa hanya perasaannya saja karena mengantuk dan banyak minum malam ini.
“KEBEBASAN! Orang-orang sedang merayakan kebebasan. Kami merayakan hari bebas Maut, bung! Mari minum sepuasnya, semua gratis, kau bebas melakukan apapun yang kau mau.”
“Hei, coba lihat itu!” teriak seseorang. Rupanya ada yang ingin membuktikan kebenaran hari
Bebas Maut, seorang lelaki muda yang lumayan tampan dengan style dandy itu berdiri di atas meja bar kemudian diangkatnya botol Absinthe yang masih berisi penuh itu kemudian di hantamkan ke kepalanya, botol pecah, pecahan botol itu jatuh ke lantai, beberapa menancap di kepalanya, cairan hijau dari absinthe yang menggairahkan itu mengalir dari kepalanya, menyatu dengan darah yang kemudian mengucur dari kepalanya itu. Tiba-tiba seorang wanita cantik berambut pirang ikut naik sambil menjilati Absinthe yang ada di tubuh lelaki itu, menjilati darah lelaki itu, kemudian tidak terjadi apa-apa.  Lelaki itu baik-baik saja, tidak meraung kesakitan, atau pun pingsan dan mati kehabisan darah.
Semua orang memberi tepukan tangan, dan mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu. Sementara Mehdi tercengang dengan apa yang dilihatnya itu, hal ini membuatnya sedikit ngeri, tapi juga penasaran. Belum juga hal itu membuatnya tercengang, ada lagi seorang wanita yang naik ke meja bar, kemudian melepasi gaunnya yang indah dan panjang menjuntai itu ke sebuah kayu di atas langit-langit, kemudian dia memposisikan kepalanya dengan gaun yang sudah terikat kuat itu, dan segera melompat dari meja bar, dia tergantung-gantung sambil tertawa, seperti seorang anak kecil yang bahagia sedang berman ayunan.
“Kegilaan macam apa ini” dalam hati Mehdi berteriak.
Maut, kini jadi olok-olok dan mainan yang paling menggairahkan di tempat itu, semua orang mencoba hal-hal sadis, menyakitkan, ada juga seorang kakek tua dengan obsesinya mencoba membunuh temannya seperti seorang bar-bar yang keji, namu tak ada satupun yang menemu mautnya.
Mehdi merasa pusing dan sesak dengan pemandangan itu, dia memutuskan untuk pulang dan melupakan hal yang terjadi padanya. Ketika akan meninggalkan tempat itu seorang berkata “Hei Bung, Maut itu ternyata tidak mengerikan. Kau lihat kan?” kemudian lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Setelah kembali ke kamarnya dia berbaring sambil mengingat-ingat kejadian itu, sampai dia merasa kehausan dan kepanasan, kemudian dia turun untuk membasuh muka dank e dapur untuk mengambil air es.
Ditemukannya Ibunya sedang duduk di sofa sambil tertidur, ternyata karena khawatir, semalaman wanita itu menanti anaknya yang tak kunjung pulang. Mehdi mendekati Ibunya itu, menatapnya, kemudian terlintas pikiran untuk membuktikan bahwa maut tak berlaku hari itu,
dia ingin menantang Maut, dia ingin membunuh ketakutan dan kecemasannya itu! kemudian Mehdi kembali ke dapur, mengambil sebilah pisau, dan berdiri di hadapan Ibunya, di belainya wanita tua itu, ketika Ibunya terbangun karena belaiannya itu, begitu membuka mata, wanita itu langsung di tusuk dengan sebuah pisau di tangan anaknya itu, tepat di kepalanya.
Mehdi kemudian terdiam dan memandangi Ibunya, sementara Ibunya meraung-raung dan terjatuh ke lantai sambil memegangi kaki anaknya itu. Beberapa saat kemudian Ibunya tidak bergerak, Mehdi kemudian tersadar, bahwa Ibunya mati. Hatinya hancur, membeku, dan gemetaran, kemudian dia menangis sejadi-jadinya.. Di samping jasad wanita tua itu, dia, Mehdi mengulang kembali pertemuanya dengan Maut kali kedua.
Dicabutnya pisau yang menancap di kepala Ibunya, kemudian di tusukkan tepat ke dadanya, biar mati, hilang segala rasa: sesal, sedih, sakit, rindu, bahagia, segala-galanya. Al Maut tetap datang, dengan janjinya, kepada mereka yang telah di jodohkan. Kita, telah dijodohkan dengan Al-Maut, semua telah tertulis, hanya soal kapan dan bagaimana, dan itu adalah pasti. Kali ini, dia, Al Maut menjelma orang-orang yang berada di dalam kedai tua dan aneh itu dengan tipu muslihatnya kepada Mehdi, dan pada akhirnya dia merasakan kesepian kematian oleh Maut yang sunyi dan pendiam. Al Maut menjemputnya dengan cara yang sangat mengerikan dan sepi, dia, Al Maut menghampirinya dengan jubah hitam compang-camping, baunya mengerikan tidak bisa didefinisikan, bau kematian.. matanya merah bagaikan bara api yang membakarnya, tatapannya, membawa perasaan kesepian yang semengerikan ini,
Mehdi gemetar, kedinginan, dan seperti kehilangan bahasa. Kemudian tak dapat mengingat apa-apa lagi. Sesuai dengan apa yang diamini oleh Mehdi, dalam ber-ada-nya di dunia, membiarkan dirinya tersesat di dalam keterasingan hakikat diri yang sejati. Begitulah Al Maut yang adil dan baik hati keberadaannya tak tersentuh, meski dia, Al Maut berada di mana-mana.

Rabu, 25 April 2012

Pelangi tanpa Jingga


-Siapa tahu, aku besok jadi orang besar yang tidak lalai.-
            -Tapi kamu tahu sendiri, apa yang sudah terjadi dengan para orang besar itu.-
            -Lihat saja.-
            -Kau ini apa maunya?- Ia Tanya dengan serius.
            -Seperti apa maumu.-
            -Mau ku, kau melukis pelangi tanpa warna jingga, untuk meraih bintang kita.-
            -Baiklah.-
            -Dan akulah Si Jingga itu-
            Dia pergi menjauh dariku sambil beberapa kali menyimetriskan bibirnya yang elok itu, ia membawa buku catatan dimana skenario-skenario kehidupan terjalani. Aku pun pergi beranjak pulang meninggalkannya dengan menyangking sebuah tas berisi laptop dan beberapa buku, buku-buku tentang bagaimana pohon dapat menyentuh langit, bagaimana cara agar manusia dapat mendapatkan bintangnya yang tepat. Karena tidak sedikit, bintang yang diraih seorang manusia, terkadang bintang orang lain, bintang yang salah. Tidak sedikit pula, banyak orang yang memuja-muja bintang itu sehingga terbunuhlah ia karena salah mengambil bintang.
            Dari sekian episode kehidupan yang ku temui, aku banyak melihat berbagai macam jalan setapak yang enak ku lalui, meski beberapa menyakiti. Aku juga tidak pernah mencoba untuk menghilang dari salah satu episode, atau aku akan menyesal di kemudian hari.
            Diperjalanan pulang, aku kaget meihat sebuah kertas teronggok di jalanan, tulisannya. Oh, rupanya buku yang ia bawa sudah tak komplit lagi. Terlukiskan, sebuah pelangi tanpa warna jingga. Ya, itu adalah permintaannya kepadaku, untuk melukis sebuah pelangi tanpa warna jingga.
            Aku meneruskan perjalanan pulang. Langit yang cerah membuatku tak merasa kelelahan dalam berjalan. Aku jadi teringat percakapanku dengannya yang selalu aku ingat, tidak pernah terlupa. Kala itu, hujan sedang libur. Angin sepoi dan pepohonan yang rimbun semakin memperindah dan menghiasi hariku bersamanya. Se gelas es teh untuk berdua menambah hangatnya suasana.
            - Nah, inilah hidup.-  katanya.
            -Ya, saling berbagi dan memberi -
            -Meski kadang yang kita terima tidak kita inginkan ya-
            Aku diam sejenak. Mencoba untuk memahami apa yang ia katakan. Aku tidak mengerti. Mungkin ia ingin membicarakan suatu hal
            -Maksudmu?-
            -Ya, kita ini kan….- Ia mengentikan suaranya beberapa detik, lalu dilanjutkan kembali. –Kita ini kan tahu, bahwa aku berwarna Jingga, dan kau Merah, kita tidak sama. –
            Aku mengerti apa yang ia bicarakan sekarang. Ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu. Aku mendadak tidak tenang.
            -Tapi kita sama akan satu hal.-
            -Apa itu?- Tanya ia dengan penasaran.
            Aku mengangakat tanganku ke atas, menunjukkan jari telunjukku ke langit, menuju ke sebuah titik yang tidak terlihat karena langit sangat terang.
            - Lihat di atas sana-
            -Apa?-
            -Di sana ada bintang yang sangat terang-
            -Ya, aku tahu-
            -Bukankah kita akan pergi ke sana? Aku dan kamu?-
            -Iya, benar-
            -Lalu kenapa kau permasalahkan warna kita? Menurutku itu tidak penting.-
            -Aku bilang penting-
            -Kenapa penting?-
            -Entahlah. Ini bukan tentang kita-
            -Lalu?-
            -Ini tentang seseorang yang begitu berarti dalam hidupku-
            -Siapa itu?-
            -Orang yang telah memberiku kesempatan untuk belajar hidup, mustahil aku tidak mengikutinya-
            Aku mulai tahu permasalahannya sekarang mengapa dia begitu mempermasalahkan Jingganya. Sejak saat itu aku  tidak lagi menanyakan soal Jingganya
            Aku meneruskan perjalanan pulang. Kertas tadi ku dekap dengan erat, kemudian akan ku masukkan ke dalam tas, ku satukan dengan buku-buku itu. Aku lipat kertas itu, lalu ku jadikan kertas itu sebagai penanda halaman buku.
            Terlihat dari kejauhan, seorang wanita dengan muka bersahabat sepertinya menungguku. Ia melambaikan tangannya sembari senyum hangat kepadaku. Aku biasa memanggilnya Ibu
            -Kemana saja kau, nak?-
            -Aku tidak kemana-mana bu. Hanya main dan mencari kesenangan, tetapi saat ini aku belum senag, bu.-
            - Kenapa kau belum senang?-
            -Ya karena aku belum menemukan hal yang aku inginkan- aku menghentikan pembicaraan, beberapa saat kemudian ku lanjutkan. – Aku malah merasa kehilangan –
            - Masuklah nak, kita bicara di dalam.-
            - Bu, apa yang harus ku lakukan? –
            - Lakukanlah apa yang menurutmu benar, kau sendirilah yang tahu apa yang harus kau lakukan. –
            - Aku tidak yakin bu. Hari ini aku hancur. –
            - Maka hancur lah kau jika kau merasa hancur. Tidak ada kehancuran yang nyata sebelum dunia kiamat, nak. –
            - Aku tidak yakin, aku bisa melukis pelangiku tanpa warna jingga. –
            - Jika tidak ada warna jingga, maka pakailah warna lain yang lebih indah. – ibu tersenyum.
            - Maksud Ibu, tanpa Jingga, pelangi akan tetap bernama pelangi?. –
            - Tentu saja, nak. Pelangi hanyalah sebuah nama. Bisa kau sebut dengan nama lain. –
            - Tetapi, apakah tanpa warna jingga pelangiku akan tetap bisa ku naiki untuk meraih bintangku, bu? Satu-satunya yang ku punya untuk meraih bintangku hanyalah pelangi.–
            Ibu tiba-tiba memelukku. Mengusap – usap kepalaku, sesekali mencium keningku. Hangat tubuhnya amat menentramkan hati. Sampai – sampai tak terasa lagi bahwa aku punya mata yang bisa mengalirkan air yang deras. Ibu menyanyikan sebuah lagu yang tidak aku kenal. Lagu itu menceritakan tentang seorang anak manusia yang sedang merasa kehilangan.
            -Apakah aku bisa meraih bintang itu walau tanpa jingga? –
            - Tetaplah menjadi kau yang dulu nak, kau berkali-kali menaklukkan gunung. Kau kuat.-
            - Apakah ibu akan terus bersamaku? –
            - Ya, ibu janji. –
            Aku sedikit lega mendengarnya. Ibu memberikan janji untuk menemaniku meraih bintangku.
            -Walau tak ada jingga, pasti nanti kau akan menemukan warna lain. Kau bisa memilih warna lain. Seperti kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Bukankah begitu nak?. –
            - Ya bu, semoga saja. Aku terima warna apa saja, asal bisa menemaniku sampai ke bintang itu. –
            - Nah, sudahkah lega? –
            Aku tidak menjawab pertanyaan ibu. Aku hanya mengeluarkan senyuman yang ibu balas dengan senyuman pula.
            Semenjak itu, aku tak pernah lagi melukiskan warna jingga diatas kanvasku. Warna yang selama ini aku suka, tetapi telah membuatku jatuh. Entah sampai kapan aku tidak memakai warna itu. Barangkali, aku pakai warna itu lagi setelah aku menemukan warna lain yang bisa menjadi sahabat untuk taklukkan langit seisinya.
            Sekarang aku akan tetap berjalan maju dan naik tanpa jingga di pelangiku.