“kudapati diriku terbangun di gigir terjal dari dunia, dari kedalaman
mimpi yang dingin.. di mana bayang-bayang tatapannya menjebakku dengan kediaman
yang menggigilkanku dari ber-ada-ku yang dingin: Al-Maut. Ia menghampiriku
dengan jubah hitam compang- camping, baunya mengerikan tidak bisa
didefinisikan, bau itu, bau kematian.. matanya merah bagaikan bara api
membakarku, tatapannya membakarku.. belum pernah kurasakan sebelumnya kesepian
yang semengerikan ini, aku gemetar, kedinginan, dan seperti kehilangan bahasa.
Kemudian aku tak dapat mengingat apa-apa lagi dari pertemuanku dengannya…”
Al Maut, dia berada di mana saja:
di jalanan, di kamar yang hangat dan nyaman, di rumah-rumah ibadah, di dalam
kedai kopi atau bar-bar dan di antara tawa pestapora orang-orang pada
malam-malam perjamuan, terkadang dia mengendap-endap di atas atap rumahmu pada
tengah malam yang dalam, atau di kedalaman mimpi seseorang, dia Sang Maut
berada di mana saja, di
dalam tubuh kita mengandung maut.
dalam tubuh kita mengandung maut.
Malam itu Mehdi selamat dari
incaran Al Maut, anggap saja Maut yang buta, barangkali ia salah mencabut nyawa
atau dia, Maut, bisa kita kelabuhi. Mehdi hampir saja benar-benar berpartisipasi
dengan maut, tetapi nasib yang barangkali adalah hubungan sibernetik dengan
"umpan balik" pilihan probabilistik, kali ini dia beruntung.. ketika
Al Maut menjelma seekor serangga yang masuk ke dalam kopi yang disediakan
Ibunya tiap malam, Mehdi meminum tanpa menyadari keberadaan Al Maut yang sunyi
itu, sampai akhirnya dia tersedak dan kehabisan nafas. Pada akhirnya Maut bisa
saja mendatangimu dengan cara yang paling konyol dan bukan saja hanya pada
kematian yang sakral dan
spiritual serta puitis, seperti yang ada di dalam film atau dongeng-dongeng. Tapi kali ini Al Maut gagal mendapatkan Mehdi, karena sesaat setelah tersedak ibunya masuk kamar untuk mengatakan bahwa Ibunya lupa menambahkan krim ke dalam kopi itu, dan Ibunya menemukan Mehdi tersungkur di lantai dengan muka pucat serta gelas kopi yang telah pecah di lantai. Mehdi, ia seorang pemuda yang psimis dan sinis memandang dunia. Dia ngeri terhadap keterasingan, dia mengamini bahwa segala yang dimilikinya hanya akan melemahkannya maka dia memilih untuk berjarak dengan dunia.. dia tumbuh di kedalaman sunyi, terbiasa dengan dendam abadi dan mengamini bahwa dia terlempar ke bumi sepi ini, bumi yang pemandangannya seperti pekuburan, beserta segala penghuni dengan jiwa-jiwa yang mati. Dia tidak bicara dengan orang (kecuali dengan Ibunya, sesekali..)
spiritual serta puitis, seperti yang ada di dalam film atau dongeng-dongeng. Tapi kali ini Al Maut gagal mendapatkan Mehdi, karena sesaat setelah tersedak ibunya masuk kamar untuk mengatakan bahwa Ibunya lupa menambahkan krim ke dalam kopi itu, dan Ibunya menemukan Mehdi tersungkur di lantai dengan muka pucat serta gelas kopi yang telah pecah di lantai. Mehdi, ia seorang pemuda yang psimis dan sinis memandang dunia. Dia ngeri terhadap keterasingan, dia mengamini bahwa segala yang dimilikinya hanya akan melemahkannya maka dia memilih untuk berjarak dengan dunia.. dia tumbuh di kedalaman sunyi, terbiasa dengan dendam abadi dan mengamini bahwa dia terlempar ke bumi sepi ini, bumi yang pemandangannya seperti pekuburan, beserta segala penghuni dengan jiwa-jiwa yang mati. Dia tidak bicara dengan orang (kecuali dengan Ibunya, sesekali..)
Bila pun malam beserta segala
kecemasannya datang, Mehdi ketakutan, meringkuk di sudut kamar, atau sesekali
dia bisa mengatasi itu dengan menulis, atau membaca buku sambil mendengarkan
musik sekeras-kerasnya. Dia terteror oleh pikiran-pikirannya sendiri, oleh
kenyataan yang dingin dan mimpi yang tak tersentuh. Namun satu hal yang dapat
membuatnya gemetar dan sangat ketakutan, yaitu, kesunyian Maut yang dingin. Dia
takut oleh bayang-bayang ketiadaan dan kesepian di dalam kematiannya yang akan membuatnya
lebih buruk daripada dunia ini…
Setelah lolos dari Al Maut, Mehdi
menjadi sombong dan berani menantang hidup, dia menganggap bahwa dia mampu
mengelabuhi Maut. Kemudian hari-harinya menjadi tak biasa-biasa saja, dia mulai
membuka diri, memasuki hidup, menemu malam, dan berbicara dengan orang.. bangun
pagi, mencukur kumis dan jenggotnya, menyeduh kopi sendiri, berbelanja untuk Ibunya,
membeli Koran, kemudian berbicara dengan orang-orang soal cuaca, harga keju dan
anggur yang naik, dan lain sebagainya, sesuatu yang hidup.. yang dianggap orag
(kebanyakan) sebagai cara hidup.
“Sepertinya aku belum pernah merasa
begitu dekat dengan kehidupan…” katanya dalam hati kemudian menghirup dalam-dalam
udara pagi yang segar sambil berjalan melenggang menuju rumah.
Malam harinya dia akan keluar untuk
makan malam, karema dia bosan dan kelelahan memakan masakan Ibunya siang dan malam,
setiap hari, seumur hidupnya, kini dia memilih satu tempat yang menjadi tempat
langganannya yaitu di sebuah warung makan yang berada di tepi pelabuhan,
pemandangan laut yang ditawarkan begitu indah untuk sebuah tempat makan
sederhana dan bisa dibilang murah di kota itu. Kemudian ke kedai-kedai kopi
atau sebuah bar yang berada di ujung pelabuhan, bar yang tidak pernah terlalu
ramai dikunjungi orang, Mehdi banyak bicara dengan seorang tua penjaga bar itu,
seorang lelaki tua yang sendiri dan kelelahan.
Suatu malam, di malam yang dingin
dan penuh hujan, Mehdi mendatangi bar itu, dia minum banyak dan mabuk, rupanya
kini dia mulai mencintai kehidupan, merasa hidup, segala yang ada di dunia
beserta segala isinya memabukkannya, kemudian si penjaga bar itu berkata
padanya,
“Hei anak muda, sudahkah kau lupa
pada sepasang mata yang mengintaimu kala itu, pada malam yang dingin dan terjal
bagi hidupmu?”
“Ah kau tidak perlu cemas Pak tua,
lihatlah! Aku berhasil lolos dari maut, aku yakin dia pasti tidak akan datang
lagi dalam waktu dekat ini, dia terlalu sibuk. Selarang saatnya untuk hidup!
Aku tak perlu cemas lagi.”
Dilihatnya jam tua yang tergantung
sunyi di bar itu, malam semakin larut, jarum jam melesat menuju tengah malam.
kemudian dia meninggalkan bar, menyusuri sunyi jalanan batu tua yang basah di
sepanjang tepian selat, dilihatnya pemandangan malam: kapal-kapal very yang
melintasi selat, seorang
lelaki yang memancing kesia-siaan karena sudah tahu benar bahwa dia tidak akan mendapatkan ikan di sudut jembatan itu, dan sepasang kekasih melepas rindu panjang di bawah pohon Maple yang beridiri sendirian. Kemudian hujan turun lagi setelah beberapa saat reda, Mehdi segera menuju ke sebuah tempat untuk berteduh. Dia berhenti di depan suatu bangunan tua yang berada di sudut lain, sudut yang paling sunyi dari pelabuhan ini, bangunan ini bisa dibilang mirip dengan sebuah kedai tua yang bukan jaman sekarang seperti kebanyakan.
lelaki yang memancing kesia-siaan karena sudah tahu benar bahwa dia tidak akan mendapatkan ikan di sudut jembatan itu, dan sepasang kekasih melepas rindu panjang di bawah pohon Maple yang beridiri sendirian. Kemudian hujan turun lagi setelah beberapa saat reda, Mehdi segera menuju ke sebuah tempat untuk berteduh. Dia berhenti di depan suatu bangunan tua yang berada di sudut lain, sudut yang paling sunyi dari pelabuhan ini, bangunan ini bisa dibilang mirip dengan sebuah kedai tua yang bukan jaman sekarang seperti kebanyakan.
Terlalu sepi dan udara dingin yang menyelimuti
tempat itu membuat suasana horror, seperti tidak ada kehidupan di dalamnya.
Perlahan Mehdi mendekati pintu, tapi karena sudah cukup kedinginan di luar dia
langsung membukanya, dan dia sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya itu,
seisi kedai yang penuh dengan orang-orang bersorak-sorai, minum bir, whisky,
scotch, dan lain sebagainya dengan cuma-cuma, ada yang menari-nari tarian
rakyat yang bahagia, bernyanyi dengan suara keras dan parau,
tempat itu begitu sesak dan aneh.
tempat itu begitu sesak dan aneh.
Mehdi masih keheranan, sambil
berjalan menuju ke sebuah bar ia celingak-celinguk melihat pemandangan yang
ganjil itu. Kemudian dia memesan minumannya, dan minuman pun tersedia, “ini minumanmu
bung, GRATIS!”
Mehdi kebingungan dan
bertanya-tanya, tempat macam apa ini? Dari luar sana bahkan tempat ini seperti
tak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya, tetapi begitu masuk pemandangannya
lain, sangat aneh, dia merasa seperti memasuki dunia yang lainnya, meski
dipenuhi canda tawa kebahagiaan, pestpora, tapi Mehdi justru merasa sangat
kesepian dan sunyi yang tak tertanggungkan.
Dipandanginnya wajah-wajah bahagia
itu, seperti ada yang memberat di setiap sudut pandangan mata mereka, atau bisa
hanya perasaannya saja karena mengantuk dan banyak minum malam ini.
“KEBEBASAN! Orang-orang sedang
merayakan kebebasan. Kami merayakan hari bebas Maut, bung! Mari minum
sepuasnya, semua gratis, kau bebas melakukan apapun yang kau mau.”
“Hei, coba lihat itu!” teriak
seseorang. Rupanya ada yang ingin membuktikan kebenaran hari
Bebas Maut, seorang lelaki muda yang lumayan tampan dengan style dandy itu berdiri di atas meja bar kemudian diangkatnya botol Absinthe yang masih berisi penuh itu kemudian di hantamkan ke kepalanya, botol pecah, pecahan botol itu jatuh ke lantai, beberapa menancap di kepalanya, cairan hijau dari absinthe yang menggairahkan itu mengalir dari kepalanya, menyatu dengan darah yang kemudian mengucur dari kepalanya itu. Tiba-tiba seorang wanita cantik berambut pirang ikut naik sambil menjilati Absinthe yang ada di tubuh lelaki itu, menjilati darah lelaki itu, kemudian tidak terjadi apa-apa. Lelaki itu baik-baik saja, tidak meraung kesakitan, atau pun pingsan dan mati kehabisan darah.
Bebas Maut, seorang lelaki muda yang lumayan tampan dengan style dandy itu berdiri di atas meja bar kemudian diangkatnya botol Absinthe yang masih berisi penuh itu kemudian di hantamkan ke kepalanya, botol pecah, pecahan botol itu jatuh ke lantai, beberapa menancap di kepalanya, cairan hijau dari absinthe yang menggairahkan itu mengalir dari kepalanya, menyatu dengan darah yang kemudian mengucur dari kepalanya itu. Tiba-tiba seorang wanita cantik berambut pirang ikut naik sambil menjilati Absinthe yang ada di tubuh lelaki itu, menjilati darah lelaki itu, kemudian tidak terjadi apa-apa. Lelaki itu baik-baik saja, tidak meraung kesakitan, atau pun pingsan dan mati kehabisan darah.
Semua orang memberi tepukan tangan,
dan mengikuti apa yang dilakukan lelaki itu. Sementara Mehdi tercengang dengan
apa yang dilihatnya itu, hal ini membuatnya sedikit ngeri, tapi juga penasaran.
Belum juga hal itu membuatnya tercengang, ada lagi seorang wanita yang naik ke
meja bar, kemudian melepasi gaunnya yang indah dan panjang menjuntai itu ke
sebuah kayu di atas langit-langit, kemudian dia memposisikan kepalanya dengan
gaun yang sudah terikat kuat itu, dan segera melompat dari meja bar, dia tergantung-gantung
sambil tertawa, seperti seorang anak kecil yang bahagia sedang berman ayunan.
“Kegilaan macam apa ini” dalam hati
Mehdi berteriak.
Maut, kini jadi olok-olok dan
mainan yang paling menggairahkan di tempat itu, semua orang mencoba hal-hal
sadis, menyakitkan, ada juga seorang kakek tua dengan obsesinya mencoba
membunuh temannya seperti seorang bar-bar yang keji, namu tak ada satupun yang
menemu mautnya.
Mehdi merasa pusing dan sesak dengan pemandangan itu, dia memutuskan untuk pulang dan melupakan hal yang terjadi padanya. Ketika akan meninggalkan tempat itu seorang berkata “Hei Bung, Maut itu ternyata tidak mengerikan. Kau lihat kan?” kemudian lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Setelah kembali ke kamarnya dia berbaring sambil mengingat-ingat kejadian itu, sampai dia merasa kehausan dan kepanasan, kemudian dia turun untuk membasuh muka dank e dapur untuk mengambil air es.
Mehdi merasa pusing dan sesak dengan pemandangan itu, dia memutuskan untuk pulang dan melupakan hal yang terjadi padanya. Ketika akan meninggalkan tempat itu seorang berkata “Hei Bung, Maut itu ternyata tidak mengerikan. Kau lihat kan?” kemudian lelaki itu tertawa terbahak-bahak. Setelah kembali ke kamarnya dia berbaring sambil mengingat-ingat kejadian itu, sampai dia merasa kehausan dan kepanasan, kemudian dia turun untuk membasuh muka dank e dapur untuk mengambil air es.
Ditemukannya Ibunya sedang duduk di
sofa sambil tertidur, ternyata karena khawatir, semalaman wanita itu menanti anaknya
yang tak kunjung pulang. Mehdi mendekati Ibunya itu, menatapnya, kemudian
terlintas pikiran untuk membuktikan bahwa maut tak berlaku hari itu,
dia ingin menantang Maut, dia ingin membunuh ketakutan dan kecemasannya itu! kemudian Mehdi kembali ke dapur, mengambil sebilah pisau, dan berdiri di hadapan Ibunya, di belainya wanita tua itu, ketika Ibunya terbangun karena belaiannya itu, begitu membuka mata, wanita itu langsung di tusuk dengan sebuah pisau di tangan anaknya itu, tepat di kepalanya.
dia ingin menantang Maut, dia ingin membunuh ketakutan dan kecemasannya itu! kemudian Mehdi kembali ke dapur, mengambil sebilah pisau, dan berdiri di hadapan Ibunya, di belainya wanita tua itu, ketika Ibunya terbangun karena belaiannya itu, begitu membuka mata, wanita itu langsung di tusuk dengan sebuah pisau di tangan anaknya itu, tepat di kepalanya.
Mehdi kemudian terdiam dan
memandangi Ibunya, sementara Ibunya meraung-raung dan terjatuh ke lantai sambil
memegangi kaki anaknya itu. Beberapa saat kemudian Ibunya tidak bergerak, Mehdi
kemudian tersadar, bahwa Ibunya mati. Hatinya hancur, membeku, dan gemetaran,
kemudian dia menangis sejadi-jadinya.. Di samping jasad wanita tua itu, dia,
Mehdi mengulang kembali pertemuanya dengan Maut kali kedua.
Dicabutnya pisau yang menancap di
kepala Ibunya, kemudian di tusukkan tepat ke dadanya, biar mati, hilang segala
rasa: sesal, sedih, sakit, rindu, bahagia, segala-galanya. Al Maut tetap
datang, dengan janjinya, kepada mereka yang telah di jodohkan. Kita, telah
dijodohkan dengan Al-Maut, semua telah tertulis, hanya soal kapan dan bagaimana,
dan itu adalah pasti. Kali ini, dia, Al Maut menjelma orang-orang yang berada
di dalam kedai tua dan aneh itu dengan tipu muslihatnya kepada Mehdi, dan pada
akhirnya dia merasakan kesepian kematian oleh Maut yang sunyi dan pendiam. Al
Maut menjemputnya dengan cara yang sangat mengerikan dan sepi, dia, Al Maut menghampirinya
dengan jubah hitam compang-camping, baunya mengerikan tidak bisa didefinisikan,
bau kematian.. matanya merah bagaikan bara api yang membakarnya, tatapannya, membawa
perasaan kesepian yang semengerikan ini,
Mehdi gemetar, kedinginan, dan
seperti kehilangan bahasa. Kemudian tak dapat mengingat apa-apa lagi. Sesuai
dengan apa yang diamini oleh Mehdi, dalam ber-ada-nya di dunia, membiarkan
dirinya tersesat di dalam keterasingan hakikat diri yang sejati. Begitulah Al
Maut yang adil dan baik hati keberadaannya tak tersentuh, meski dia, Al Maut
berada di mana-mana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar