Rabu, 25 April 2012

Pelangi tanpa Jingga


-Siapa tahu, aku besok jadi orang besar yang tidak lalai.-
            -Tapi kamu tahu sendiri, apa yang sudah terjadi dengan para orang besar itu.-
            -Lihat saja.-
            -Kau ini apa maunya?- Ia Tanya dengan serius.
            -Seperti apa maumu.-
            -Mau ku, kau melukis pelangi tanpa warna jingga, untuk meraih bintang kita.-
            -Baiklah.-
            -Dan akulah Si Jingga itu-
            Dia pergi menjauh dariku sambil beberapa kali menyimetriskan bibirnya yang elok itu, ia membawa buku catatan dimana skenario-skenario kehidupan terjalani. Aku pun pergi beranjak pulang meninggalkannya dengan menyangking sebuah tas berisi laptop dan beberapa buku, buku-buku tentang bagaimana pohon dapat menyentuh langit, bagaimana cara agar manusia dapat mendapatkan bintangnya yang tepat. Karena tidak sedikit, bintang yang diraih seorang manusia, terkadang bintang orang lain, bintang yang salah. Tidak sedikit pula, banyak orang yang memuja-muja bintang itu sehingga terbunuhlah ia karena salah mengambil bintang.
            Dari sekian episode kehidupan yang ku temui, aku banyak melihat berbagai macam jalan setapak yang enak ku lalui, meski beberapa menyakiti. Aku juga tidak pernah mencoba untuk menghilang dari salah satu episode, atau aku akan menyesal di kemudian hari.
            Diperjalanan pulang, aku kaget meihat sebuah kertas teronggok di jalanan, tulisannya. Oh, rupanya buku yang ia bawa sudah tak komplit lagi. Terlukiskan, sebuah pelangi tanpa warna jingga. Ya, itu adalah permintaannya kepadaku, untuk melukis sebuah pelangi tanpa warna jingga.
            Aku meneruskan perjalanan pulang. Langit yang cerah membuatku tak merasa kelelahan dalam berjalan. Aku jadi teringat percakapanku dengannya yang selalu aku ingat, tidak pernah terlupa. Kala itu, hujan sedang libur. Angin sepoi dan pepohonan yang rimbun semakin memperindah dan menghiasi hariku bersamanya. Se gelas es teh untuk berdua menambah hangatnya suasana.
            - Nah, inilah hidup.-  katanya.
            -Ya, saling berbagi dan memberi -
            -Meski kadang yang kita terima tidak kita inginkan ya-
            Aku diam sejenak. Mencoba untuk memahami apa yang ia katakan. Aku tidak mengerti. Mungkin ia ingin membicarakan suatu hal
            -Maksudmu?-
            -Ya, kita ini kan….- Ia mengentikan suaranya beberapa detik, lalu dilanjutkan kembali. –Kita ini kan tahu, bahwa aku berwarna Jingga, dan kau Merah, kita tidak sama. –
            Aku mengerti apa yang ia bicarakan sekarang. Ia mencoba untuk menjelaskan sesuatu. Aku mendadak tidak tenang.
            -Tapi kita sama akan satu hal.-
            -Apa itu?- Tanya ia dengan penasaran.
            Aku mengangakat tanganku ke atas, menunjukkan jari telunjukku ke langit, menuju ke sebuah titik yang tidak terlihat karena langit sangat terang.
            - Lihat di atas sana-
            -Apa?-
            -Di sana ada bintang yang sangat terang-
            -Ya, aku tahu-
            -Bukankah kita akan pergi ke sana? Aku dan kamu?-
            -Iya, benar-
            -Lalu kenapa kau permasalahkan warna kita? Menurutku itu tidak penting.-
            -Aku bilang penting-
            -Kenapa penting?-
            -Entahlah. Ini bukan tentang kita-
            -Lalu?-
            -Ini tentang seseorang yang begitu berarti dalam hidupku-
            -Siapa itu?-
            -Orang yang telah memberiku kesempatan untuk belajar hidup, mustahil aku tidak mengikutinya-
            Aku mulai tahu permasalahannya sekarang mengapa dia begitu mempermasalahkan Jingganya. Sejak saat itu aku  tidak lagi menanyakan soal Jingganya
            Aku meneruskan perjalanan pulang. Kertas tadi ku dekap dengan erat, kemudian akan ku masukkan ke dalam tas, ku satukan dengan buku-buku itu. Aku lipat kertas itu, lalu ku jadikan kertas itu sebagai penanda halaman buku.
            Terlihat dari kejauhan, seorang wanita dengan muka bersahabat sepertinya menungguku. Ia melambaikan tangannya sembari senyum hangat kepadaku. Aku biasa memanggilnya Ibu
            -Kemana saja kau, nak?-
            -Aku tidak kemana-mana bu. Hanya main dan mencari kesenangan, tetapi saat ini aku belum senag, bu.-
            - Kenapa kau belum senang?-
            -Ya karena aku belum menemukan hal yang aku inginkan- aku menghentikan pembicaraan, beberapa saat kemudian ku lanjutkan. – Aku malah merasa kehilangan –
            - Masuklah nak, kita bicara di dalam.-
            - Bu, apa yang harus ku lakukan? –
            - Lakukanlah apa yang menurutmu benar, kau sendirilah yang tahu apa yang harus kau lakukan. –
            - Aku tidak yakin bu. Hari ini aku hancur. –
            - Maka hancur lah kau jika kau merasa hancur. Tidak ada kehancuran yang nyata sebelum dunia kiamat, nak. –
            - Aku tidak yakin, aku bisa melukis pelangiku tanpa warna jingga. –
            - Jika tidak ada warna jingga, maka pakailah warna lain yang lebih indah. – ibu tersenyum.
            - Maksud Ibu, tanpa Jingga, pelangi akan tetap bernama pelangi?. –
            - Tentu saja, nak. Pelangi hanyalah sebuah nama. Bisa kau sebut dengan nama lain. –
            - Tetapi, apakah tanpa warna jingga pelangiku akan tetap bisa ku naiki untuk meraih bintangku, bu? Satu-satunya yang ku punya untuk meraih bintangku hanyalah pelangi.–
            Ibu tiba-tiba memelukku. Mengusap – usap kepalaku, sesekali mencium keningku. Hangat tubuhnya amat menentramkan hati. Sampai – sampai tak terasa lagi bahwa aku punya mata yang bisa mengalirkan air yang deras. Ibu menyanyikan sebuah lagu yang tidak aku kenal. Lagu itu menceritakan tentang seorang anak manusia yang sedang merasa kehilangan.
            -Apakah aku bisa meraih bintang itu walau tanpa jingga? –
            - Tetaplah menjadi kau yang dulu nak, kau berkali-kali menaklukkan gunung. Kau kuat.-
            - Apakah ibu akan terus bersamaku? –
            - Ya, ibu janji. –
            Aku sedikit lega mendengarnya. Ibu memberikan janji untuk menemaniku meraih bintangku.
            -Walau tak ada jingga, pasti nanti kau akan menemukan warna lain. Kau bisa memilih warna lain. Seperti kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Bukankah begitu nak?. –
            - Ya bu, semoga saja. Aku terima warna apa saja, asal bisa menemaniku sampai ke bintang itu. –
            - Nah, sudahkah lega? –
            Aku tidak menjawab pertanyaan ibu. Aku hanya mengeluarkan senyuman yang ibu balas dengan senyuman pula.
            Semenjak itu, aku tak pernah lagi melukiskan warna jingga diatas kanvasku. Warna yang selama ini aku suka, tetapi telah membuatku jatuh. Entah sampai kapan aku tidak memakai warna itu. Barangkali, aku pakai warna itu lagi setelah aku menemukan warna lain yang bisa menjadi sahabat untuk taklukkan langit seisinya.
            Sekarang aku akan tetap berjalan maju dan naik tanpa jingga di pelangiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar